Penyelesaian Konflik Keanekaragaman
Masyarakat melalui Pendidikan Multikultural Berbasis Demokrasi dan Kearifan
Lokal
disusun sebagai
tugas mata kuliah Manajemen
Konflik
Dosen pengampu : Dr. Suharno,
M. Si.
Oleh :
Nama : Nurokhmah
NIM : 14705259009
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2
0
1
5
Penyelesaian Konflik Keanekaragaman
Masyarakat
melalui Pendidikan Multikultural
Berbasis Demokrasi dan Kearifan Lokal
oleh
: Nurokhmah
program
studi Pendidikan Kewarganegaraan
Program
Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta
ABSTRAK
Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan negara kesatuan yang terdiri dari keanekaragaman budaya. Kemajemukan
budaya (multikultur) memunculkan kekayaan budaya dan toleransi. Namun salah
satu dampak yang perlu dicermati adalah konflik berbasis kultural. Suku, agama
dan ras (SARA) merupakan isu sensitif memunculkan konflik. Agar masyarakat
mampu menghormati suku, agama dan ras yang berbeda maka perlu dibantu dalam
memahami, bersikap dan berperilaku yang sensitif terhadap multi kultural. Salah
satu strategi menekan konflik dalam masyarakat adalah pendidikan dengan
memfokuskan pada perspektif multikultur dalam budaya demokrasi dan
mempertimbangkan kearifan lokal. Setiap budaya memiliki sistem nilai yang
menjaga harmoni sehingga perlu dirujuk sebagai pola pencegahan dan penyelesaian
konflik kultural.
kata kunci ; konflik, pendidikan,
multikultur, demokrasi, kearifan lokal
ABSTRACT
Unitary Republic of Indonesia is a
unitary state consisting of cultural diversity. Cultural diversity
(multiculturalism) raises the wealth of culture and tolerance . But one of the
effects that need to be observed is culturally based conflict . Ethnic, religious
and racial (SARA) is a sensitive issue gave rise to the conflict. So that
people can respect the ethnic, religious and racial backgrounds then need to be
assisted in understanding, attitude and behavior that are sensitive to
multicultural. One strategy suppress the conflict in society is education with
a focus on multicultural perspectives in democratic culture and local wisdom
into account. Every culture has a value system that maintains harmony that need
to be referred as a pattern of cultural conflict prevention and resolution.
key words ; conflict,
education, multiculture, democracy, local wisdom
PENDAHULUAN
Masalah multikultural dan demokrasi,
merupakan salah satu topik yang menjadi fokus perhatian. Urgensi konsep multikultural
dan demokrasi diarahkan untuk menjawab persoalan internasional maupun skala
nasional (di Indonesia). Seringkali masyarakat dikejutkan oleh banyaknya berita
mengenai benturan atau konflik antar manusia baik secara individu maupun
kelompok. Konflik tersebut ada yang hanya berupa konflik argumen, tapi bisa
juga sampai yang tingkatnya parah berupa konflik fisik. Konflik fisik tentunya sangat
merugikan baik bagi diri sendiri maupun keluarga dan masyarakat.
Konflik fisik menurut sejarah banyak
tercatat terjadi di Indonesia, dari skala yang kecil hingga skala yang besar
dan mempengaruhi ratusan orang, ribuan orang, bahkan jutaan orang. Sebagai contoh
konflik yang besar adalah kasus Sampit, Poso, Ambon, Ahmadiyah, tragedi 1998, dan
lain-lain. Kasus-kasus tersebut menjadi sebuah pembelajaran yang mahal.
Menunjukkan langkah yang tertatih bagaimana sebuah bangsa besar seperti
Indonesia berproses menuju kematangan dan kedewasaan berpikir dan bersikap.
Pembelajaran yang akan menjadi sia-sia ketika Bangsa Indonesia tidak mampu
mengambil hikmah atau kebijakan darinya.
Indonesia adalah bangsa yang besar
dikarenakan bermacam hal. Besar dari segi jumlah anggotanya atau rakyatnya.
Besar dari segi budaya bangsanya, hal ini ditunjukkan dengan berbagai karya
agung yang dibuat para leluhur kita, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan,
dan lain-lain. Besar dalam hal sumber daya alam, Indonesia bahkan bisa dibilang
sangat kaya. Indonesia memiliki cadangan gas, minyak bumi, batubara, yang cukup
besar, sehingga menjadi rebutan bagi para investor asing yang ingin mengeruk
keuntungan sektor migas. Bahkan yang istimewa, kepememilikian uranium, jenis
mineral yang menjadi incaran negara-negara di seluruh dunia karena manfaatnya
dalam pengembangan tekhnologi nuklir. Negara yang mampu mengembangkan
persenjataan nuklir, dianggap sebagai negara yang berwibawa dan ditakuti. Pemanfaat
uranium untuk tenaga listrik, menjadikan sebuah negara yang maju dalam hal
tekhnologi, karena energi listrik yang dihasilkan dari nuklir sangat besar, dan jika digunakan untuk
mengembangkan pengobatan maka dia akan menjadi negara terdepan dalam ilmu
kesehatan karena efektifitas teknik pengobatan yang dilakukan.
Dari berbagai hal yang tersebut, maka
diperlukan solusi untuk mengantisipasi bahkan mengeliminasi berbagai konflik
sehingga tidak menjadi sandungan bagi suatu negara untuk bisa menjadi sebuah
negara yang besar dan beretika, negara yang
mampu berdiri sama tinggi dengan negara lain, sehingga memiliki wibawa
dan posisi tawar yang besar di dunia internasional.
Dari sudut masyarakat yang berada di dalam
bangsa Indonesia, konsep demokrasi dan masyarakat multikultural diperlukan
untuk membantu meredam konflik yang muncul akibat berbagai keragaman yang ada
di Indonesia, seperti agama, ras, suku, aliran politik, dan lain sebagainya. Keragaman,
dalam hal ini SARA, sangat rentan menjadi bom waktu konflik yang dapat meletus
setiap saat ketika tanpa sengaja terdapat hal yang menjadi pemicu. Baik berupa
perbedaan pandangan hidup, religi, aliran politik, perekonomian, perebutan
pengaruh, atau pergesekan antar kelompok yang lain. Dari berbagai paparan yang
tersebut maka muncul pertanyaan, bagaimanakah konsep demokrasi dan
multikulturalisme dikembangkan dan mampu menjadi solusi penyelesaian berbagai
masalah yang terjadi di masyarakat Indonesia?
PEMBAHASAN
A. Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan, bisa
diartikan sebagai kekuasaan atau pemerintahan negara berada di tangan rakyat. Oleh
Abraham Lincoln dimaknai sebagai democracy
is government of the people, by the people, and for the people. Didalamnya
terdapat konsep kebebasan yang tidak bersifat absolut, tetapi memiliki
keterbatasan. Batas kebebasan yang dimaksud adalah tidak mengganggu kebebasan
orang lain. Demokrasi bukan hanya kelembagaan dengan struktur tertentu sesuai
kaidah yang telah dipilih, tetapi juga jiwa dan semangat demokrasi yang
senafas, jika tidak searah maka bisa menjadi bentuk demokrasi yang memiliki
fungsi yang bertentangan dengan makna demokrasi itu sendiri.
Demokrasi mencakup dua hal yaitu :
struktur dan kultur. Struktur yang dimaksud adalah instrumen yang diperlukan untuk
dapat memberikan fasilitas pelaksanaan demokrasi, sebagai contoh adalah
perundang-undangan, lembaga-lembaga negara, lembaga non pemerintah dalam
masyarakat, dan lain-lain. Kultur berarti budaya. Kultur demokrasi tidak bisa
diciptakan dalam waktu yang pendek, tetapi bertahap dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat (Zamroni: 2011)
Daniel S Lev menyatakan enam pokok
pemikirannya mengenai membangun republik, yaitu :
1. Dalam setiap negara di dunia modern ,
sistem politik demokrasi dalam arti semua orang turut dalam mengambil keputusan
itu tidak mungkin terwujud. Demokrasi hanya mungkin sebagai standar bukan
tujuan.
2. Republik adalah suatu lembaga yang
terdiri atas lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat. Beberapa
lembaga yang penting, seperti birokrasi,
militer, dan badan-badan legislatif seperti parlemen dan pengadilan. Sedangkan
lembaga-lembaga masyarakat yang penting adalah Partai Politik, LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat), gereja, pesantren, dan sebagainya. Lembaga-lembaga pemerintah
dan masyarakat itu penting dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang berurusan
dengan lembaga-lembaga tersebut.
3. Meskipun sistem demokrasi dalam suatu
negara modern itu tidak mungkin terwujud, dalam beberapa lembaga masyarakat,
misalnya dalam Partai Politik dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) demokrasi
itu mungkin diwujudkan. Membangun republik berarti membangun lembaga-lembaga
pemerintah maupun lembaga-lembaga masyarakat itu. Dalam republik yang baik
lembaga-lembaga pemerintah itu adalah kumpulan kekuatan yang harus bisa
dikontrol oleh lembaga-lembaga dalam masyarakat.
4. Pelajaran dari sejarah menunjukkan
bahwa dalam setiap lembaga, lembaga apapun juga, selalu ada elite-nya. Itu
realitas yang muncul di masyarakat manapun. Elite ini selalu cenderung untuk
memperkokoh posisi yang menguntungkan mereka. Hal ini sering disebut pandangan
pesimis setelah mempelajari sejarah.
5. Dalam republik yang baik, elite bisa
dikontrol oleh lembaga-lembaga dalam
masyarakat yang demokratis.
6. Modal tersebut menjadi sebuah masalah
yang tidak bisa dielakkan, yang terpenting adalah bagaimana untuk mengontrol
sehingga tidak berlebihan. Solusi yang ada baik sistem politik-ekonomi
kapitalis, sosialis, maupun komunis ternyata tidak berhasil mengontrol. Yang
terbaik adalah terjadinya kompromi, seperti Skandinavia, dimana ada peran
masyarakat dalam menjaga modal demokrasi ini. (Wardaya: 1999: 96-97)
Dari pendapat Lev muncul dua hal yaitu
struktur dan kultur yang diperlukan dalam sebuah demokrasi. Negara demokrasi
menjadi sebuah negara ideal jika mampu membuat struktur yang kuat dan stabil dan
mengayomi serta mengikat kultur-kultur
positif yang muncul secara alami dalam masyarakat dan mengeliminir kultur
negatifnya.
Amartya Sen peraih nobel ekonomi tahun
1998 menyebutkan demokrasi bukan sekedar suatu mekanisme, melainkan sistem yang
membutuhkan kondisi-kondisi tertentu. Kondisi tersebut merupakan wujud dari nilai dan prinsip dasar demokrasi itu sendiri.
Demokrasi tidak hanya berupa mekanisme pemilihan dan penghormatan atas hasil
pemilihan semata, melainkan juga meliputi perlindungan terhadap kemerdekaan dan
kebebasan, penghormatan terhadap aturan hukum, dan adanya jaminan terhadap
kebebasan berpendapat dan kebebasan memperoleh informasi. Sen juga menyatakan
bahwa demokrasi dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pertama, kebebasan politik adalah bagian dari kebebasan manusia
secara umum, dan pelaksanaan kebebasan politik merupakan bagian penting dari
pencapaian kebaikan kehidupan individu dan masyarakat. Kedua, demokrasi memberikan sarana bagi rakyat untuk
mengekspresikan dan mendukung aspirasi tertentu, termasuk kepentingan ekonomi. Ketiga, demokrasi memberikan kesempatan
kepada rakyat untuk saling belajar serta membentuk nilai dan prioritas bersama.
(Gaffar: 2013: hal 36).
B. Multikultural
Menurut Khoirul Mahfud yang dikutip dalam Nur Hidayah, akar kata multikulturalisme
adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata
multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam
kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam
komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Sedangkan menurut Fay (1996) multikulturalisme yaitu
sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan,
baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002).
Multikulturalisme
adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada
kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah
para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan
terutama ditujukan terhadap
golongan sosial askriptif yaitu sukubangsa (dan ras), gender, dan umur.
Ideologi multikulturalisme ini secara praksis
bergandengan tangan saling mendukung dengan proses-proses
demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku secara individual
(HAM) dalam berhadapan dengan kekuasaan dan komunitas atau masyarakat setempat. (Hidayah, tanpa tahun).
C. Masyarakat
Emile
Durkheim (1858-1917) mengartikan masyarakat sebagai “before all else is an active cooperation“ .(Lubis, 2006, 20). Menurut
Moeis 2009 dalam makalahnya menyatakan dari segi besarannya, sekurangnya
masyarakat itu terbagi menjadi dua bentuk; pertama
yaitu masyarakat yang relatif kecil yaitu satu bentuk masyarakat dimana
anggota-anggotanya terikat pada satu acuan nilai yang mengikat mereka pada
kesamaan identitas, sistem dan struktur sosialnya masih sederhana dan masih
mudah untuk dianalisa, dan masih memungkinkan bagian atau kelompok-kelompok
dalam masyarakat itu melakukan hubungan langsung secara intensif, contoh bentuk
masyarakat ini seperti masyarakat Anak Dalam di Jambi atau bahkan
masyarakat Jambi, masyarakat Sakai di Riau, atau bahkan masyarakat Riau,
masyarakat Baduy di Jawa Barat atau bahkan masyarakat Sunda Jawa
Barat, dan banyak lagi ; dan kedua,
yaitu masyarakat yang relatif besar yaitu suatu bentuk masyarakat yang
anggota-anggotanya walaupun terkait pada satu acuan nilai dan identitas namun
nilai dan identitas itu ada dalam wujud yang sangat terbatas, sistem dan
struktur sosialnya sudah sedemikian kompleks sehingga agak sukar untuk
dianalisa, dan karena sedemikian besarnya masyarakat menyebabkan hubungan
antara anggota, kelompok, dan bagian-bagian dalam masyarakat itu kurang
memungkinkan terjadi secara langsung dan intensif, keadaan ini terkait juga
dengan hambatan-hambatan geografis, contoh bentuk masyarakat ini seperti
masyarakat Indonesia yang terdiri dari beratus-ratus kebudayaan lokal yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke; walaupun ada dalam satu ciri masyarakat
namun agaknya sulit bagi anggota-anggotanya untuk senantiasa berhubungan secara
langsung dan intensif satu sama lain.
M. M.
Djojodigoeno dalam Moeis (2009), membedakan antara konsep ‘masyarakat dalam
arti luas’ dan ‘masyarakat dalam arti sempit’; dalam konsep itu,
masyarakat Indonesia adalah masyarakat dalam arti luas, dan masyarakat
disekeliling kita apakah itu desa atau kota tertentu, maupun masyarakat warga
kelompok kekerabatan seperti marga, dadia, atau suku bangsa adalah
masyarakat dalam arti sempit.
Dalam
lingkup yang lebih kecil, keberadaan masyarakat multikultural ini masih mungkin
terjadi seperti yang ada pada kota-kota metropolitan. Hampir seluruh potensi
budaya lokal terkonsentrasikan di daerah metropolitan ini, namun keberadaan
mereka masing-masing agak berbeda dengan tempat asalnya; hampir dapat
dipastikan bahwa keberadaan mereka adalah dengan tujuan ekonomi, dan untuk
sampai pada harapannya itu mereka sepertinya siap untuk menanggalkan segala
atribut budaya sebagai bagian penting dari identitasnya; walaupun sebenarnya
mereka itu saling bersaing, tetapi kondisinya kurang memungkinkan untuk selalu
begitu, secara tidak langsung mereka dituntut untuk saling beradaptasi dan
berkerja sama agar tujuannya dapat tercapai. Peleburan budaya lokal pada satu
bentuk budaya yang dirasakan dapat mengakomodir seluruh aspirasi warga budaya
yang bersangkutan.
D. Masyarakat Multikultural
Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang komponennya menggambarkan lebih dari satu unsur,
kultur-sub kultur, budaya, keyakinan, sistem keyakinan, agama, suku bangsa dan
lain-lain. Jadi, masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang komponennya
menggambarkan salah satu, dua, atau ketiga klasifikasi tersebut. Benang merah
dari paparan tersebut, multikulturalisme merupakan konsep pengelolaan
masyarakat yang secara kultural majemuk, sekecil apapun tingkat dan lingkup
kemajemukan budaya tersebut, dengan memberikan pengakuan (rekognisi) atas
eksistensi komponen kemajemukan tersebut. Pengakuan tersebut dalam fenomena
kontemporer merupakan tuntutan (demand). Oleh karenanya ketiadaan
pengakuan, yang berarti nihilnya pemenuhan tuntutan, sangat potensial terhadap
munculnya berbagai konflik (Suharno, 2011)
Masyarakat multikultural merupakan suatu hal yang niscaya, tidak ada
masyarakat yang bersifat monokultural. Bahkan sejarah memberi pembelajaran
bahwa setiap upaya untuk menciptakan monokultur dengan berbagai macam bentuk
telah gagal. Karena pada hakekatnya masyarakat multikultural merupakan
sunnatullah. (Zamroni, 2011: 31). Disini perlu dipertegas perbedaan antara pluralisme
dan multikulturalisme. Pluralisme adalah masyarakat yang memiliki
keanekaragaman didalamnya, dengan keunikan dan identitas mereka yang berbeda-beda
membuat mereka hidup dalam fragmentasi. Sedangkan multikulturalisme tidak
terfragmentasi tetapi berupaya menempuh jalur untuk menyatukan dengan cara
menghargai keunikan/perbedaan tetapi bergerak bersama untuk menuju tujuan yang
sama.
Berbagai perbedaan dan keanekaragaman yang ada dalam masyarakat kalau
dikelola dengan baik akan merupakan kekuatan bagi masyarakat itu sendiri untuk
mewujudkan masyarakat yang lebih maju, makmur, sejahtera dilandasi dengan
keadilan dan keberadaban. Dinamika yang terjadi didalamnya tentu menghasilkan
pergesekan baik yang positif maupun yang negatif. Positif jika mengarah pada
persatuan, negatif jika fokus pada perbedaan yang bisa mengarah ke konflik.
Pergesekan negatif ataupun konflik membuat akibat yang merugikan. Kerugian
bisa terjadi baik dari segi materiil maupun immateriil. Tetapi tidak bisa
dinisbikan terdapat juga hal positif pasca konflik. Jika konflik berhasil
diselesaikan dengan baik maka muncul suatu upaya baru untuk melanggengkan
perdamaian dalam masyarakat tersebut. Upaya tersebut bisa berupa peningkatan
kesadaran masyarakat akan penghargaan terhadap nilai-nilai multikulturalisme,
sehingga masyarakat saling menghargai. Sebagai contoh ditambahkannya pendidikan
harmoni di sekolah-sekolah Poso pasca konflik. Pengangkatan kembali kearifan
lokal di daerah-daerah rawan konflik misalnya tradisi Pela Gandong di
Ambon.
Peningkatan kesadaran masyarakat memang harus dilakukan dengan rekayasa.
(Zamroni, 2011: 115). Rekayasa bisa dilakukan secara formal di sekolah, maupun
non formal di masyarakat. Dalam cakupan formal di sekolah, rekayasa dilakukan
diawali dengan menetapkan cara pandang sekolah. Sekolah diibaratkan sebagai
suatu masyarakat kecil yang didalamnya
terdapat aturan-aturan yang harus ditegakkan. Aturan-aturan itulah yang
kemudian diisi dengan konsep maupun best
practices nilai-nilai multikultural. Dalam cakupan non formal dilakukan
penggerakan tujuan masyarakat ke arah kesatuan negara dengan tetap menghargai
semua bagian dari masyarakat. Pendekatan pada para tetua atau pemangku adat,
ulama, tokoh-tokoh daerah wajib untuk dilakukan oleh pemerintah. Pengetatan
terhadap tayangan entertainment maupun berita media massa, seperti di televisi,
radio, maupun media massa cetak harus dilakukan demi menjaga nilai-nilai
persatuan dan menghindarkan diri dari
perpecahan. Bibit perpecahan tersebut bisa berupa berbagai aksi terkait ethnocentrisme, chauvinisme, provinsialisme,
dan lain sebagainya. Yang nantinya bisa menimbulkan berbagai reaksi dari
masyarakat. Baik reaksi lunak maupun yang keras.
Masyarakat multikultural harus berprinsip demokrasi. Prinsip-prinsip
demokrasi tersebut menurut Zamroni (2011)
adalah (1) demokrasi merupakan sistem politik yang diaplikasikan dalam
pemerintahan dimana setiap individu yang telah dewasa memiliki hak-hak menentukan
pemimpin pemerintahannya, (2) demokrasi memiliki fungsi utama, salah satunya
adalah memberikan jaminan dan menjaga hak asasi warga negara, seperti hak-hak
untuk menyatakan pendaat hak berserikat, hak untuk beragama maupun untuk tidak
beragama dan hak diperlakukan setara, (3) sistem demokrasi memiliki mekanisme
dan prosedur pergantian pemimpin pemerintahan secara reguler, (4) selaku
warganegara dalam sistem politik demokrasi tidak hanya memiliki hak, tetapi
juga memiliki kewajiban dan tanggungjawab. Antara lain kewajiban dan tanggungjawab
menjaga hak-hak politiknya, (5) masyarakat demokratis memiliki warganegara yang
senantiasa mengedepankan toleransi, kerjasama, dan kompromi demi untuk kebaikan
masyarakat luas.
Kehidupan masyarakat demokratis akan semakin baik, jika pendidikan
warganegaranya baik. Tingkat pendidikan warganegara memiliki korelasi positif
terhadap derajat kehidupan demokrasi suatu bangsa. Tinggi rendahnya pendidikan warga negara memberi
dampak yang besar akan derajat
demokrasi dan kemakmuran warga
bangsa tersebut. Tingkat pendidikan warga yang tinggi akan memberikan
kesempatan dapat dikembangkannya sistem politik demokrasi di satu sisi, dan
disisi lain dapat dikembangkannya sistem politik demokrasi di satu sisi, dan
disisi lain dapat dikembangkannya pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan
lebih cepat. Kedua dampak tersebut saling kait dan saling dorong sehingga
dampak pendidikan jika dibuat secara grafis akan berbentuk seperti spiral.
Pendidikan
yang terdapat dalam sebuah negara yang multikultural haruslah merupakan sebuah
pendidikan multikultural yang menjunjung
tinggi prinsip demokrasi. Pendidikan
dalam sebuah negara yang bersifat multikultural harus mampu mengembangkan siswa
menjadi :
1.
Siswa
memiliki critical thinking yang kuat,
sehingga bisa mengkaji materi yang disampaikan secara kritis dan konstruktif.
2.
Siswa
yang memiliki kesadaran atas sifat curiga atas pihak lain yang dimiliki, dan
mengkaji mengapa dan dari mana sifat curiga itu muncul, serta terus mengkaji
bagaimana cara menghilangkan sifat curiga tersebut.
3.
Siswa
memahami setiap ilmu bagaikan pisau bermata dua, ada sisi baik dan ada sisi
buruk. Semua tergantung pada yang memiliki ilmu tersebut.
4.
Siswa
memiliki ketrampilan untuk memanfaatkan dan mengimplementasikan ilmu yang
dikuasai.
5.
Siswa
bersifat sebagai a learning person,
belajar sepanjang hayat.
6.
Siswa
memiliki cita-cita untuk menempati posisi sebagaimana ilmu yang dipelajari.
Namun, juga menyadari bahwa posisi
tersebut harus dicapai dengan kerjakeras.
7.
Siswa
memahami keterkaitan apa yang dipelajari dengan kondisi dan persoalan yang
dihadapi bangsa. (Zamroni, 2011, 152)
James
Banks (1994) menjelaskan: bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa
dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu pertama, content
integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk
mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran
atau disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process,
yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata
pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode
pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi
akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya, (culture) ataupun
sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi
karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
Ketika
pendidikan multikulturalisme telah berhasil maka dalam tataran tersebut akan
terwujud masyarakat harmonis. Indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran
dalam mewujudkan tercapainya masyarakat harmonis, yaitu (1) terpeliharanya
eksistensi agama atau ajaran-ajaran yang ada dalam masyarakat, (2) terpelihara
dan terjaminnya keamanan,ketertiban, dan keselamatan, (3) tegaknya kebebasan berpikir
yang jernih dan sehat, (4) terbangunnya eksistensi kekeluargaan yang tenang dan
tenteram dengan penuh toleransi dan tenggang rasa, (5) terbangunnya kondisi
daerah yang demokratis, santun, beradab serta bermoral tinggi, (6) terbangunnya
profesionalisme aparatur yang tinggi untuk mewujudkan tata pemerintahan yang
baik, bersih berwibawa dan bertanggung jawab. (Daulay, tanpa tahun)
PENUTUP
Indonesia
adalah negara yang terdiri dari beragam kelompok baik dari segi ras, etnis,
budaya, bahasa, agama, dan lain-lain. Sejarah mencatat banyak terjadi konflik
dalam proses perjalanan Indonesia dari dulu sampai dengan masa sekarang.
Contohnya adalah konflik Sampit, Poso, Ambon, dan lain-lain. Konflik tersebut
sebagian bisa diselesaikan dengan baik, tetapi ada juga yang masih menyimpan
masalah terpendam. Jika tidak dilakukan pengendalian bisa menyebabkan masalah
yang terpendam tersebut bisa menjadi bom atom yang meletus sewaktu-waktu.
Pengendalian tersebut adalah dengan pendidikan yang menghasilkan kesadaran
dalam menghargai prinsip-prinsip multikulturalisme,
atau dikenal sebagai pendidikan multikulturalisme. Pendidikan multikulturalisme
haruslah bergenggam erat dengan pendidikan demokrasi agar bisa efektif.
Pendidikan
masyarakat harus diupayakan setinggi mungkin. Tinggi rendahnya pendidikan warganegara memberi
dampak yang besar akan derajat demokrasi dan kemakmuran warga bangsa tersebut. Tingkat
pendidikan warga yang tinggi akan memberikan kesempatan dapat dikembangkannya
sistem politik demokrasi di satu sisi, dan disisi lain dapat dikembangkannya
sistem politik demokrasi di satu sisi, dan disisi lain dapat dikembangkannya
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan lebih cepat. Ketika semua berhasil
dilakukan maka akan terwujud masyarakat yang harmonis dengan ciri-ciri seperti
yang diungkapkan Daulay, yaitu (1) terpeliharanya
eksistensi agama atau ajaran-ajaran yang ada dalam masyarakat, (2) terpelihara
dan terjaminnya keamanan,ketertiban, dan keselamatan, (3) tegaknya kebebasan berpikir
yang jernih dan sehat, (4) terbangunnya eksistensi kekeluargaan yang tenang dan
tenteram dengan penuh toleransi dan tenggang rasa, (5) terbangunnya kondisi
daerah yang demokratis, santun, beradab serta bermoral tinggi, (6) terbangunnya
profesionalisme aparatur yang tinggi untuk mewujudkan tata pemerintahan yang
baik, bersih berwibawa dan bertanggung jawab.
Pendidikan
multikultural dalam cakupan formal di sekolah juga harus dikaitkan dengan
kearifan lokal sebagai akar budaya masyarakat. Sedangkan dalam pendidikan non
formal dimasyarakat diupayakan penggerakan tujuan masyarakat ke arah kesatuan
negara dengan tetap menghargai semua bagian dari masyarakat. Pendekatan pada
para tetua atau pemangku adat, ulama, tokoh-tokoh daerah wajib untuk dilakukan
oleh pemerintah. Pengetatan terhadap tayangan entertainment maupun berita media
massa, seperti di televisi, radio, maupun media massa cetak harus dilakukan
demi menjaga nilai-nilai persatuan dan menghindarkan diri dari perpecahan. Bibit perpecahan tersebut
bisa berupa berbagai aksi terkait ethnocentrisme,
chauvinisme, provinsialisme, dan lain sebagainya. Yang nantinya bisa menimbulkan
berbagai reaksi dari masyarakat. Baik reaksi lunak maupun yang keras.
Segala
upaya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh baik oleh pemerintah maupun
masyarakat untuk menghasilkan rakyat Indonesia yang menjunjung tinggi prinsip
demokrasi dan multikultural, sehingga konflik yang terjadi di Indonesia
terutama konflik primordialisme, ras, agama, dan sektarian bisa dieliminir.
Rekomendasi
Pemerintah
seyogyanya memasukkan pendidikan multikultural sebagai pendidikan wajib
sebagaimana pendidikan kewarganegaraan ataupun pendidikan agama. Dimana dalam
pendidikan multikultural tersebut memiliki kandungan kearifan lokal yang kuat
sehingga mudah diserap dan efektif implementasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Daniel S Lev. (1999). Lembaga, Elit, dan Kontrol. Dalam F.X. Baskara. T. Wardaya (Ed). Mencari Demokrasi. Tanpa Kota. Institut
Studi Arus Informasi.
Daulay,
Pardamean.(2012). Membangun kearifan
lokal berbasis kearifan lokal dari keseragaman menuju keberagaman. Makalah
disajikan pada Temu
Ilmiah Nasional Guru (TING) IV. https://utsurabaya.files.wordpress.com/2013/01/
dame.pdf diunduh pada
1 Desember 2014
Gaffar, Janedjri M. (2013). Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan UUD 1945. Jakarta. Konstitusi Press.
Isnaini
M. (tanpa tahun) Konsep Pendidikan
Multikultural Dalam Merespon Tantangan Globalisasi Analisis Pemikiran HAR.
Tilaar. http://sumsel.kemenag.go.id/file/ dokumen/KONSEPPENDIDIKANMULTIKULTURAL.pdf diunduh pada 1 Desember 2014
Lubis,
Nur A Fadhil. (2006). Multikulturalisme
dalam politik: sebuah pengantar diskusi. Jurnal Antropologi Sosial Budaya
Etnovisi. Vol II, No. 1. 19-27 Tersedia
: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15288/1/etvapr2006%20%283%29.pdf diunduh pada 26 September 2014
Moeis,
Syarief Drs. (2009). Kelompok-kelompok
dalam masyarakat multikultural. Makalah Diskusi Jurusan Pendidikan Sejarah
FPIPS UPI. Bandung. http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/195903051989011-SYARIF
MOEIS/MAKALAH 11.pdf
diunduh pada 1 Desember 2014
Suharno.
2011. Politik Rekognisi Dalam Peraturan
Daerah Tentang Penyelesaian Konflik Di Dalam Masyarakat Multikultural. Disertasi,
tidak dipublikasikan. Universitas Gajah Mada.
Suparlan,
Parsudi. (2002). Menuju masyarakat
Indonesia yang multikultural. Makalah Simposium Internasional Jurnal
Antropologi Indonesia. 69, 98-105. http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/viewFile/3448/2729 diunduh pada 1 Desember 2014
Tarigan,
R.V. (2006). Multikulturalisme dari
Lingkup Keluarga hingga Media Massa. Jurnal Antropologi Sosial Budaya
Etnovisi. Vol II, No. 1. 35-37 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15286/1/etv-apr2006-%20%286%29.pdf diunduh pada 26 September 2014
Zamroni.
(2011). Pendidikan demokrasi pada masyarakat
multikultural. Yogyakarta. Gavin Kalam Utama.